Rabu, 27 November 2013

Influenza

Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai oleh demam, gigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorok dan batuk non produktif. Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri (Nelwan, 2006)

Patogenesis
Influenza diperoleh dari sekresi pernapasan akut orang sakit melalui udara yang ditularkan oleh batuk dan bersin dan mungkin melalui kontak tangan ke tangan atau kontak pribadi atau fomite contact. Virus kemudian menginfeksi epitel pernapasan. Sel epitel columbar bersilia pada awalnya terlibat; virus bereplikasi dalam 4-6 jam dan menyebar dengan cepat menginfeksi sel pernapasan lainnya (Kesper dkk, 2005).
Transmisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya di traktus respiratorius. Penularan bergantung pada ukuran partikel (droplet) yang membawa virus tersebut masuk ke dalam saluran napas. Pada dosis infeksius 10 virus/ droplet 50% orang-orang yang terserang dosis ini akan menderita influenza. Virus akan melekat pada epitel sel di hidung dan bronkus (Gurtler, 2006).
Setelah virus berhasil menerobos masuk ke dalam sel, dalam beberapa jam sudah mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah ke sel lain. Virus influenza dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat efek pirogen lipopoli-sakarida kuman gram negatif (Nelwan, 2006).

Gejala Klinis
Pada umumnya pasien mengeluh demam, sakit kepala, sakit otot, batuk, pilek, dan kadang-kadang sakit pada waktu menelan dan suara serak. Gejala-gejala ini dapat didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin. Pada pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemia ringan sampai berat pada selaput lendir tenggorokan. Dimana semua gejala-gejala ini timbul setelah masa inkubasi selama 2 hari (Sardjito, 1993).
Gejala-gejala akut ini dapat berlangsung untuk beberapa hari dan hilang dengan spontan. Setelah episode sakit ini, dapat dialami rasa cape dan cepat lelah untuk beberapa waktu. Badan dapat mengatasi infeksi virus influenza melalui mekanisme produksi zat anti dan penglepasan interferon. Setelah sembuh akan terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus yang homolog (Nelwan, 2006).
Pada pasien usia lanjut harus dipastikan apakah influenza juga menyerang paru-paru. Pada keadaan tersebut, pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan bunyi napas yang abnormal. Mortalitas yang tinggi pada pasien usia lanjut yang terserang pneumonia virus interstisial, disebabakan adanya saturasi oksigen yang berkurang, serta akibat asidosis dan anoksia. Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien ini adalah infeksi sekunder, seperti pneumonia bakterial. Batuk-batuk kering berubah menjadi batuk yang produktif yang kadang-kadang dapat mengandung bercak-bercak warna coklat. Penyakit umumnya dapat membaik dengan sendirinya tapi kemungkinan pasien acap kali mengeluh lagi mengenai demam dan sakit dada. Pemeriksaan sinartembus dapat menunjukkan adanya infiltrat di paru-paru. Infeksi sekunder ini umumnya akibat Streptococus pneumonia atau Hemophilus influenzae (Nelwan, 2006).
Infeksi sekunder yang berat sekali, dikenal sebagai pneumonia stafilokok fulminans dapat terjadi beberapa hari setelah seseorang diserang influenza. Pada pasien terjadi sesak napas, diare, batuk dengan bercak merah, hipotensi dan gejala-gejala kegagalan sirkulasi. Dari darah, Stapilokokus aureus sering dibiakkan. Komplikasi yang sangat jarang tetapi yang dapat juga dijumpai sesudah influenza adalah ensefalomielitis (Nelwan, 2006).

Diagnosis
Diagnosis influenza A baru ditegakkan berdasarkan kriteria klinis berupa gejala Influenza Like Ilness (ILI) yaitu demam dengan suhu >38⁰C, batuk, pilek, nyeri otot dan nyeri tenggorok. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah sakit kepala, sesak napas, nyeri sendi, mual, muntah dan diare. Pada anak gejala klinis dapat terjadi fatique (Depkes RI, 2009).
Diagnosis influenza A baru secara klinis dibagi atas kriteria ringan, sedang dan berat, dimana (Depkes RI, 2009):
a.Kriteria ringan yaitu gejala ILI, tanpa sesak napas, tidak disertai pneumonia dan tidak ada faktor risiko.
b.Kriteria sedang yaitu gejala ILI dengan salah satu kriteria: faktor risiko, pneumonia ringan (bila terdapat fasilitas foto rontgen toraks) atau disertai keluhan gastrointestinal yang mengganggu seperti mual, muntah, diare atau berdasarkan penilaian klinis dokter yang merawat.
c.Kriteria berat yaitu bila dijumpai kriteria yaitu pneumonia luas (bilateral, multilobar), gagal napas, sepsis, syok, kesadaran menurun, sindrom sesak napas akut (ARDS) atau gagal multi organ.



Patogenesis Hiperkolesterolemia

Hiperkolesterolemia adalah keadaan peningkatan kadar kolesterol total (>240mg/dL) dan kadar kol-LDL saat puasa (Rader and Hobbs, 2012). Hiperkolesterolemia dibagi menjadi 3 derajat yaitu hiperkolesterolemia ringan ( kadar kol-LDL 130-159 mg/dL), sedang (160-219 mg/dL) dan berat (>220 mg/dL) (Grundy, 2006). Beberapa hal yang dapat menyebabkan hiperkolesterolemia yaitu:

1.Asupan lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi
Terdapat 3 jenis asam lemak jenuh yang bersifat hiperkolesterolemik yaitu asam laurat (C12:0) yang banyak terdapat pada makanan hewani, asam miristat (C14:0) terutama pada lemak mentega, minyak kelapa, minyak kelapa sawit dan asam palmitat (C16:0) yang juga terdapat pada minyak kelapa dan minyak kelapa sawit (Gropper dkk, 2009). Asupan tinggi kolesterol memiliki korelasi positif dengan meningkatnya kadar kolesterol total dan kadar kol-LDL (Ricardi dkk, 2003). Konsumsi tinggi kolesterol bersama dengan asam lemak jenuh memiliki potensi meningkatkan kadar kol-LDL yang sangat besar (Krummel, 2008).
2.Penuaan
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan ambilan partikel LDL dari sirkulasi akibat penurunan efi siensi kerja reseptor LDL (Grundy, 2006).
3.Obesitas
Obesitas dapat menyebabkan hiperkolesterolemia, diduga karena adanya peningkatan sintesis very low density lipoprotein (VLDL) di hepar (Grundy, 2006).
4.Faktor genetik
Faktor genetik dapat mempengaruhi kadar kol-LDL plasma melalui pengaturan sintesis apo B-100, partikel LDL, reseptor LDL dan ambilan partikel LDL oleh hepar (Grundy, 2006).
5.Hormon estrogen
Hormon estrogen berperan dalam menstimulasi sintesis reseptor LDL, penurunan kadar estrogen seringkali menyebabkan peningkatan kadar kol-LDL pada masa pascamenopause (Grundy, 2006).

Hiperkolesterolemia

Hiperkolesterolemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar kolesterol total dengan kadar trigliserida yang normal. Peningkatan kadar kolesterol total berhubungan dengan meningkatnya kadar kolesterol LDL karena LDL membawa sekitar 60-70% dari total kolesterol plasma (Wells dkk, 2003).

LDL
Partikel LDL merupakan lipoprotein yang memiliki kandungan kolesterol dan kolesterol ester (pada bagian inti) tertinggi, namun memiliki kandungan protein (pada permukaan) yang paling sedikit (Gropper dkk, 2009). Apo B100 merupakan apoprotein partikel LDL yang berperan untuk membentuk ikatan dengan reseptor spesifik Apo B100 (reseptor LDL) di jaringan hepatik dan non-hepatik (Lieberman and Marks, 2009). Proses pembentukannya berasal dari partikel VLDL yang telah kehilangan kandungan trigliseridanya (Gropper dkk, 2009).
Sebanyak 60% LDL ditranspor ke hepar untuk membentuk ikatan dengan reseptor LDL yang selanjutnya mengalami endositosis (Gropper dkk, 2009). Sedangkan 40% lainnya, ditranspor ke jaringan ekstrahepatik seperti adrenokortikal dan sel gonad yang juga memiliki reseptor spesifik Apo B100. Adanya reseptor spesifik Apo B100, menyebabkan jaringan dapat menangkap LDL dan menggunakan kolesterol yang terdapat didalamnya (Gropper dkk, 2009).

Reseptor LDL
Reseptor LDL merupakan protein transmembran di permukaan sel, yang berbentuk celah dan dilapisi oleh membran sel dan protein yang disebut clathrin (Lagor and Millar, 2010). Sintesis reseptor LDL dipengaruhi oleh kadar kolesterol bebas di dalam sel, dan setelah berikatan dengan reseptor, seluruh partikel LDL mengalami endositosis (Lagor and Millar, 2010). Komponen kolesterol bebas dari LDL akan dipindahkan ke dalam sel dan menyebabkan hambatan aktifitas enzim 3-hydroxy-3-methylglutaryl- CoA reduktase (HMG-CoA reduktase) dan peningkatan enzim acyl CoA:cholesterol acyl transferase (ACAT) (Botham and Mayes, 2009). Enzim HMG-CoA reduktase berperan dalam menurunkan sintesis kolesterol, aktivitas dan sintesisnya diatur melalui mekanisme umpan balik yang dipengaruhi oleh kadar kolesterol di dalam sel (Gropper dkk, 2009). Proses ini melibatkan sterol regulatory element binding protein (SREBP) yaitu protein yang berperan dalam transkripsi gen reseptor LDL.
Saat kadar sterol di dalam sel rendah, SREBP akan ditransfer dan menyebabkan peningkatan transkripsi gen reseptor LDL. Sebaliknya, apabila kadar sterol tinggi, terjadi hambatan transfer SREBP sehingga transkripsi gen reseptor LDL menurun yang kemudian diikuti dengan penurunan ambilan partikel LDL oleh sel (Lagor and Millar, 2010). Enzim ACAT bekerja mengurangi kadar kolesterol melalui proses re-esterifikasi kolesterol bebas menjadi kolesterol ester (Gropper dkk, 2009).

Kolesterol
Kolesterol merupakan senyawa alisiklik dengan struktur dasar meliputi inti perhydrocyclopentanophenanthrene yang tersusun atas 4 cincin karbon (Lieberman and Marks, 2009). Kolesterol di dalam tubuh sebagian besar berasal dari biosintesis sedangkan sisanya berasal dari bahan makanan hewani seperti kuning telur, daging, hati dan otak (Botham and Mayes, 2009).
Kolesterol yang dihasilkan hepar didistribusikan ke seluruh tubuh dengan bantuan lipoprotein terutama VLDL, IDL dan LDL, yang mengangkut kolesterol ester ke jaringan yang membutuhkan kolesterol untuk sintesis membran sel, hormon steroid dan vitamin D (Lieberman and Marks, 2009).

Masalah Terkait Obat (Drug Related Problems)

Definisi (Winslade, 1996)
Masalah terkait obat atau Drug Related Problems (DRPs) didefinisikan sebagai suatu keadaan yang tidak diinginkan yang terjadi pada pasien yang disebabkan oleh terapi obat dan secara nyata atau potensial mengurangi efek terapi yang diharapkan.

Klasifikasi (Hepler & Strand, 1990)
Masalah terkait obat yang perlu diperhatikan, antara lain:
1.Indikasi yang tidak memperoleh terapi (untreated indication), yaitu pasien mempunyai masalah medis yang memerlukan pengobatan, tetapi tidak menerima obat yang sesuai dengan indikasi tersebut.
2.Pemilihan obat tidak tepat (improper drug selection), yaitu pasien mendapatkan obat yang tidak sesuai dengan kondisi medis yang dialaminya.
3.Dosis terlalu rendah (subtherapeutic dose), yaitu pasien mempunyai masalah medis dan menerima obat yang sesuai, namun dosis yang diberikan terlalu rendah.
4.Dosis terlalu tinggi (over dose), yaitu pasien mendapat masalah medis karena penggunaan obat yang berlebihan.
5.Efek samping obat (adverse drug reactions), yaitu pasien mendapat masalah medis karena efek yang tidak dikehendaki/efek samping obat.
6.Interaksi obat (drug interactions), yaitu pasien mendapat masalah medis karena adanya interaksi obat dengan obat, obat dengan makanan, dan obat dengan uji laboratorium.
7.Kegagalan menerima pengobatan (failure to receive medication), yaitu pasien mempunyai masalah medis akan tetapi secara farmasetik, psikologis atau sosio ekonomis penderita tersebut gagal mendapatkan obat.
8.Penggunaan obat tanpa indikasi (medication use without medication), yaitu pasien menggunakan obat tanpa indikasi medis yang jelas.
Ketika ditemukan sebuah masalah terkait obat, farmasis harus merencanakan cara mengatasinya. Farmasis harus memberikan skala prioritas untuk masalah terkait obat tersebut, yang didasarkan pada risiko yang mungkin diperoleh penderita. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan skala prioritas masalah terkait obat:
1.Masalah mana yang harus diselesaikan lebih dahulu dan masalah mana yang dapat diselesaikan kemudian.
2.Masalah yang merupakan tanggung jawab farmasis.
3.Masalah yang dapat diselesaikan dengan cepat oleh farmasis.
4.Masalah yang dalam penyelesaiannya memerlukan bantuan dari tenaga kesehatan lainnya (dokter, perawat, kelurga penderita, dan lain-lain).

Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST

Infark miokard akut tanpa elevasi ST (Non ST Elevation Myocardial Infarction = NSTEMI) dan Angina pektoris tak stabil (Unstable Angina Pectoris =UAP) memiliki kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung. Gejala yang paling sering terjadi adalah nyeri dada, sekaligus merupakan gejala yang paling banyak dialami oleh pasien yang datang ke IGD.

Patofisiologis
Non ST Elevation Myocardial Infarction dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang takstabil ini biasanya memiliki inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang tinggi. Inti lemak yang cenderung rupturmempunyai konsentrasi ester kolesterol proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α dan IL 6 yang akan merangsang pengeluaran hsCRP di hati.

Evaluasi Klinis
Gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI adalah nyeri dada dengan lokasi khas substeral atau kadangkala di epigastrum dengan ciri seperti diperas, perasaan terbakar, nyeri tumpul, rasa tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan. Pada pasien yang berusia lebih dari 65 tahun biasanya ditandai dengan beberapa gejala seperti : dispneu, mual, disforesis, sinkop atau nyeri di lengan, bahu atas atau leher.

Biomarker Kerusakan Miokard
Troponin T atau troponin T merupakan pertanda nekrosis miokard yang lebih disukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. P ada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin awal pada daerah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.

Penatalaksanaan
Pasien NSTEMI harus istirahat total dengan pemantauan EKG untuk deviasi segen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan, yaitu : 1). Terapi antiiskemia; 2). Terapi antiplatelet/ antikoagulan; 3).Terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi); 4) Perawatan sesbelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.

Terapi Antiiskemia
Untuk menghilangkan nyeri dada atau mencegah nyeri dada berulang diberikan terapi awal mencakup nitrat dan beta-blocker. Terapi antiiskemia terdiri darinnitrogliserin sublingual dan dapat dilanjutkan dengan intravena, dan beta-blocker (pada keadaan tertentu dapat diberikan intravena). Antagonis kalsium kalsium nonhihidropiridin diberikan pada pasien dengan iskemia refrakter atau yang tidak toleran dengan obat beta-blocker.
Tabel 1.
Skor Resiko UA/NSTEMI
Usia > 65 tahun
>2 faktor resiko PJK
Stenosis sebelumnya > 50%
Deviasi ST
>2 kejadian angina < 24 jam Aspirin dalam 7 hari terakhir Peningkatan petanda jantu Pasien yang mengalami nyeri dada iskemia harus diberikan nitrat pertama kalinya secara sublingual atau spray. Jika nyeri menetap setelah diberikan nitrat sublingual tiga kali dengan interval lima menit, direkomendasikan pemberian nitrogliserin intravena (mulai dari 5-10 μg/menit). Laju infus dapat ditingkatkan 10 μg/menittiap 3-5 menit sampai tekanan menghilang atau tekanan darah sistolik < 100 mmHg. Jika pasien sudah terbebas dari nyeri selama 12-24 jam, dapat diberikan nitrat oral. Beta blocker oral diberikam dengan target fekuensi jantung 50-60 kali/menit.Antagonis kalsium yang mengurangi jantung frekuensi jantung seperti verapamil atau diltiazem direkomendasikan pada pasien dengan nyeri dada persisten atau rekuren setelah terapi nitrat dosis penuh dan beta blocker atau pada pasien yang kontraindikasi dengan beta blocker. Jika nyeri dada menetap setelah pemberrian nitrogliserin intravena, diberikan morfin sulfat dengan dosis 1-5 mg diberikan 5-30 menit samapai dosis total 20 mg. Terapi Antitrombotik
Oklusi trombus subtotal pada koroner mempunyai peran utama dalam patogenesis NSTEMI dan keduanya mulai dari agregasi platelet dan pembentukan thrombin-activated fibrin bertanggung jawab atas perkembangan klot. Oleh karena itu terapi antiplatelet dan antitrombin menjadi komponen utama dalam pengobatan.

Terapi Antiplatelet
Salah satu obat yang digunakan adalah aspirin. Aspirin menghaambat siklooksigenase-1. Pada pemberian terapi aspirin dapat terjadi sindrom “resistensi insulin” yang ditandai dengan penghambatan agregasi platelet dan/atau kegagalan yang dapt memperpanjang waktu pendarahan. Pasien yang mengalami resitensi insulin beresiko mengalami rekuren. Walaupun penelitian prospektif acak belum ditemukan pada pasien-pasien ini, adalah logis untuk memberikan terapi klopidogrel, walaupun aspirin sebaiknya juga tidak dihentikan.
Klopidogrel (thyenopyridine) memblok reseptor adenosine diphosphate pada permukaan platelet dan dengan demikian menginhibisi aktivasi platelet. Klopidogrel direkomendasikan sebagai obat lini pertama (first line drug) pada UA/NSTEMI dan ditambahkan aspirin pada pasien UNSTEMI, kecuali pada mereka dengan resiko tinggi pendarahan dan pada pasien yang memerlukan CABG segera. Klopidogrel sebaiknya diberikan pada : 1). Pasien yang direncanakan untuk mendapatkan pendekatan non-invasif dini; 2). Pasien yang diketahui bukan merupakan kandidat operasi koroner segera atau memiliki kontraindikasi untuk operasi; 3). Kateterisasi ditunda selama > 24-36 jam.

Hiperkolesterolemia (lanjutan)

Penatalaksanaan
Pemilihan terapi dalam menangani hiperkolesterolemia bisa didasarkan pada algoritma terapi di bawah ini yang disesuaikan dengan kondisi pasien sesuai dengan asessmen risiko pada materi sebelumnya.



Setelah dilihat dari algoritma terapi dan berdasarkan hasil tersebut diperlukan terapi penurun lipid, maka tabel di bawah dapat digunakan sebagai panduan untuk memilihkan terapi.

Intervensi lainnya yang disarankan untuk mengoptimalkan terapi yaitu penerapan TLC (Therapeutic Lifestyle Changes) yang direkomendasikan dalam pedoman ATP III sebagai pendekatan pendekatan multifaktor untuk menurunkan risiko terjadinya PJK, yang meliputi TLC diet yang meliputi diet lemak jenuh dan konsumsi serat, manajemen berat badan, peningkatan aktivitas fisik dan berhenti merokok.
Lemak jenuh merupakan komponen utama makanan yang menentukan kadar LDL serum. Pengaruh lemak jenuh terhadap kolesterol total dalam serum telah banyak diteliti. Analisis dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% kalori dari lemak jenuh akan disertai peningkatan LDL serum sebesar 2%. Sebaliknya, penurunan 1% asupan lemak jenuh dapat menurunkan kadar LDL serum sebesar 2%. Uji terbaru telah membuktikan efikasi diet rendah lemak jenuh dalam menurunkan kadar LDL. Selain itu, metaanalisis terbaru menunjukkan diet tinggi kolesterol dapat meningkatkan kadar LDL. Bahan makanan yang mengandung kolesterol yaitu produk-produk hewani, susu sapi, daging, serta telur. Beberapa data epidemiologi, antara lain The Western Electric Study, menunjukkan bahwa diet tinggi kolesterol dapat meningkatkan risiko terkena penyakit jantung melalui pengaruh diet terhadap LDL serum.
Obesitas berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya hiperlipidemia, CHD, sindrom metabolik, hipertensi, stroke, diabetes melitus, osteoartritis, gout, serta keganasan. Panduan dari ATP III menekankan penurunan berat badan pada pasien overweight dan obesitas sebagai bagian dari intervensi penurunan LDL serum. Pada 12 minggu pertama, pasien menjalani pengaturan makan untuk menurunkan LDL serum sebelum diperkenalkan intervensi penurunan berat badan. Tujuan awal intervensi penurunan berat badan yaitu menurunkan berat sekitar 10% selama 6 bulan. Berdasarkan panduan ATP III, aktivitas fisik yang teratur amat ditekankan karena berperan penting dalam penanganan sindrom metabolik. Peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan kadar LDL, very low-density lipoprotein cholesterol, dan trigliserida, serta meningkatkan HDL. Tujuan peningkatan aktivitas fisik pada pasien hiperkolesterolemia yaitu untuk menciptakan keseimbangan energi, mengurangi risiko terjadinya sindrom metabolik, serta menurunkan risiko terjadinya PJK. Aktivitas fisik yang direkomendasikan yaitu aktivitas fisik dengan intensitas moderat selama 30 menit setiap harinya dan dilakukan minimal 3-4 kali dalam seminggu.

Hiperkolesterolemia (lanjutan)

Diagnosis
Pemeriksaan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, dan trigliserida direkomendasikan untuk dilakukan mulai usia lebih dari 20 tahun dan minimal sekali dalam 5 tahun (Sukandar dkk, 2008).. Klasifikasi nilai kadar dari LDL, HDL dan kolesterol total dapat dilihat pada tabel 2.2 (Talbert, 2005).
Klasifikasi dari LDL, HDL dan Kolesterol Total
Total cholesterol
<200mg/dL Desirable
200-239 mg/dL Borderline high
≥240 mg/dL High
LDL cholesterol
<100 mg/dL Optimal
100-129 mg/dL Near or above optimal
130-159 mg/dL Borderline high
160-189 mg/dL High
≥190 mg/dL Very high
HDL cholesterol
<40 mg/dL Low
≥60 mg/dL High
HDL= high-density lipoproteins; LDL=low-density lipoprotein

Setelah diketahui ketidaknormalam lipid, komponen utama yang harus dievaluasi adalah sejarah (usia, jenis kelamin, jika wanita, siklus menstruasi dan perubahan estrogen). Jika sejarah lengkap dan pemeriksaan fisik sudah dilakukan, harus diperhitungkan juga:
1) Ada atau tidaknya faktor resiko penyakit kardiovaskuler dan penyakit kardiovaskuler pada pasien.
2) Sejarah keluarga adanya penyakit dini kardiovaskuler atau kelainan lipid.
3) Ada atau tidaknya penyebab sekunder hiperlipidemia, termasuk pengobatan yang sedang dijalani.
Ada atau tidaknya nyeri abdomen, sejarah pankreatitis, penyakit ginjal/hati, penyakit pembuluh darah perifer, aneurisme aorta abdomen, atau penyakit pembuluh otak (stroke, iskemia) (Sukandar dkk, 2008).

Hiperkolesterolemia (lanjutan)

Tanda dan Gejala
Secara umum, kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala selama bertahun-tahun sebelum penyakit terbukti secara klinis. Pasien dengan sindrom metabolik mungkin memiliki tiga atau lebih hal berikut: obesitas abnormal, dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, resistensi insulin dengan atau tanpa intoleransi glukosa, keadaan protrombotik atau keadaan proimflammatory. Tidak ada nyeri dada, jantung berdebar, berkeringat, gelisah, sesak napas, kehilangan kesadaran sulit bicara atau bergerak, nyeri perut, dan kematian mendadak. Tidak ada rasa sakit perut, pankreatitis, eruptive xanthomas, polineuropati perifer, tekanan darah tinggi, body mass index lebih dari 30 kg/m2, atau ukuran pinggang lebih dari 40 inci pada pria (35 inci pada wanita) (Talbert, 2005).

Faktor Risiko
Coronary Heart Disease (CHD) atau Risiko yang setara dengan CHD
1.Coronary Heart Disease (CHD)
CHD merupakan arterosklerosis pada arteri koroner yang biasanya disebabkan oleh infark miokard dan angina pektoris. Arterosklerosis yang mensuplai sistem saraf pusat sering menyebabkan storke dan iskemik cerebral sementara.
2.Risiko yang setara dengan CHD
a.Diabetes
b.Bentuk lain dari arterosklerosis (penyakit pembuluh darah perifer, aneurisme aortik abdominal, dan symtomatic carotid artery disease)
Faktor Risiko Lainnya
1.Merokok,
2.Hipertensi (BP ≥ 140/90 mmHg atau sedang menjalani pengobatan hipertensi),
3.Kolesterol HDL rendah (HDL < 40 mg/dL)*,
4.Riwayat keluarga terkena premature coronary heart disease (CHD) (CHD relatif terjadi pada pria pertama <55 tahun, pada wanita pertama relatif <65 tahun)
5.Usia (pria ≥45 tahun; wanita ≥55 tahun)
*Kolesterol; HDL ≥60mg/dL dihitung sebagai “negatif” faktor risiko, kehadiranya dapat mengurangi satu faktor risiko dari jumlah total risiko.

Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin. Pemeriksaan yang digunakan untuk diagnosis diabetes, diantaranya : pemeriksaan glukosa plasma puasa (FPG, fasting plasma glucose), dan pemeriksaan toleransi glukosa oral (OGTT, oral glucose tolerance test). Kadar FPG antara 100 dan 125 ml/dL mengindikasikan pradiabetes, dan kadar FPG 126 ml/dL atau lebih dianggap diabetes. Untuk OGTT, kadar gula darah individu diukur setelah puasa dan dua jam setelah minum minuman manis. OGTT dua jam antara 140 dan 199 mg/dL mengindikasikan pradiabetes, kadar 200 mg/dL atau lebih mengindikasikan diabetes (Corwin, 2008).

Klasifikasi Diabetes mellitus (Corwin, 2008)
Diabetes Mellitus tipe I
Diabetes mellitus tipe I adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut insulin. Penyakit ini dapat timbul pada semua kelompok usia. Diabetes tipe ini merupakan penyakit yang biasanya berkembang secara perlahan selama beberapa tahun, dengan adanya autoantibodi dan destruksi yang terjadi secara terus – menerus pada diagnosis lanjut.

Diabetes mellitus tipe II
Merupakan hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler terhadap insulin. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal. Predisposisi genetik yang kuat dan faktor lingkungan yang nyata dapat menyebabkan diabetes mellitus tipe 2.

Diabetes mellitus tipe III
Diabetes tipe III merupakan tipe spesifik diabetes yang disebabkan trauma pankreatik, neoplasma, atau penyakit dengan karakteristik gangguan endokrin, seperti penyakit Cushing.

Diabetes mellitus tipe IV
Diabetes mellitus tipe 4 atau diabetes gestasional merupakan diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes. Meskipun diabetes tipe ini dapat membaik setelah persalinan, sekitar 50% pengidapnya akan kembali ke status diabetes setelah kehamilan berakhir. Bahkan jika membaik setelah persalinan, resiko mengidap diabetes tipe dua kira-kira lima tahun mendatang lebih besar daripada normal.

Gejala Diabetes
Penyakit diabetes mellitus dapat menunjukan gejala klinis yang bermacam-macam. Beberapa gejala yang dapat terlihat dari pasien penderita diabetes mellitus adalah poliuria (peningkatan pengeluaran urin), polidipsia (peningkatan rasa haus), polifagia (peningkatan rasa lapar), rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel untuk menggunakan glukosa sebagai energi (Corwin,2008)


Terapi Diabetes
Terapi Nonfarmakologi
a. Diet
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, dan kegiatan fisik, untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respon sel-sel beta terhadap stimulus glukosa. Selain itu, asupan serat dapat penting karena dapat menghambat penyerapan lemak (Depkes RI, 2005).

b. Olahraga
Olah raga utuk penderita diabetes pada umumnya ringan dan dilakukan secara teratur. Olah raga dapat meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan meningkatkan penggunaan glukosa (Depkes RI, 2005).

Terapi Farmakologi
Terapi obat diperlukan apabila terapi tanpa obat seperti pengaturan diet dan olah raga belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah. Terapi obat yang diberikan baik dalam bentuk antidiabetes oral ataupun terapi insulin (Depkes RI, 2005). Antidiabetes oral meliputi agen yang meningkatkan sekresi insulin seperti Sulfonilurea, biguanid, tiazolidin dan agen penghambat alfa-glukosidase (Katzung, 2008), dan penghambat Dipeptidil Peptidase IV (ACP, 2007).
a. Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja meningkatkan sekresi insulin dari pankreas (ACP, 2007). Efek samping yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan penambahan berat badan (Wells, Dipiro, & Schwinghammer, 2003).
b. Meglitinid
Meglitinid merupakan antidiabetik oral dengan mekanisme kerja meningkatkan sekresi insulin secara cepat seperti golongan sulfonilurea sehingga disebut agen sekresi insulin nonsulfoniluea (ACP, 2007), tetapi pengeluaran insulin bergantung dari konsentrasi gula darah, sehingga dapat mengurangi terjadiya hipoglikemia berat (Wells, Dipiro, & Schwinghammer, 2003).
c. Biguanid
Biguanid menghambat glukoneogenesis hati dan meningkatkan glikogenolisis yang rendah (ACP, 2007). efek samping yang umum adalah mual, muntah, diare, anoreksia, dan rasa logam di mulut (Wells, Dipiro, & Schwinghammer, 2003).
d. Tiazolidin
Tiazolidin meningkatkan sensitivitas insulin dalam otot dan lemak (ACP, 2007). efek sampingnya adalah edema, peningkatan berat badan (Wells, Dipiro, Schwinghammer, & Hamilton, 2003).
e. Penghambat alfa-glukosidase
Penghambat alfa-glukosidase yang menghambat secara kompetitif enzim alfa-glukosidase di usus kecil, sehingga penyerapan karbohidrat tertunda (ACP, 2007). Efek sampingnya adalah diare (Wells, Dipiro, & Schwinghammer, 2003)
f. Penghambat Dipeptidil Peptidase IV
Obat ini menghambat dipeptidil peptidase IV yaitu enzim yang menurunkan sekresi inkretin. Hormon inkretin dapat meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon (ACP, 2007).