Tahukah kau, sore itu aku bangun tersengal, terkejut setelah mendengar lengkingan suara hp di meja belajarku yang letaknya tepat di kaki kasurku. Namun aku lebih terkejut lagi saat teringat kembali mimpi itu. Badanku basah kuyup oleh keringat, entah karena panas terik yang menembus kaca jendela kamarku di sisi kanan kasur tempat aku terlelap siang ini, atau karena petualangan dalam mimpiku yang membuatku terjengal.
Siang itu, aku seperti biasa menghabiskan waktu sendiriku menunggu detik-detik perjalanan panjangku di kampus baru dengan membaca novel. Novel favoritku novel karangan Tere Liye, penulis yang sangat menginspirasiku yang membuatku selalu merasakan masuk ke dalam cerita yang dibuatnya. Yah, seperti hari ini, aku larut dalam novel yang kubaca hingga aku terlelap di atas kasur itu, kasur yang mungkin tidak akan hancur 100 tahun pakai, keras sekali, bahkan membuat orang yang ingin melepaskan penat di atasnya mendapatkan penat yang baru. Tapi aku mensyukurinya, betapa banyak orang di luar sana yang kehidupannya lebih pahit dari ku, harus menghabiskan waktu panjang mereka di atas kerasnya semen jembatan penyebrangan. Ya, laki-laki itu, ntah kapan ia terbangun, setiap kali aku melewati jembatan penyebrangan itu, laki-laki itu selalu terkulai lemah terlelap di salah satu sisi jembatan penyebrangan itu, dengan satu gelas lusuh di hadapan wajahnya.
Ya, peduli apa dengan laki-laki yang tidak punya semangat hidup itu, kembali pada mimpi siang itu. Saat aku terbangun terbayang kembali potongan-potongan mimpi saat aku terlelap tadi, aku memimpikan sambungan cerita dari novel yang belum aku selesaikan membacanya, keburu untuk menuliskan cerita ini.
Mimpi itu menegangkan, semeneganggakan saat Ray melakukan perjalanan masa lalunya bersama orang dengan wajah menyenangkan itu sebagaimana yang digambarkan Tere Liye dalam novel itu. Detak jantungku tidak beraturan, ntah berapa kali dalam sedetik. Hampir saja aku urungkan niat untuk menyelesaikan membaca novel tersebut. Hingga kuputuskan untuk keluar sebentar merilexkan pikiran, setelah selesai mandi di kamar mandi kecil ukuran 1x1 yang juga terletak di dalam kamar tidurku itu.
Jantung ini kembali berdetak hebat, saat aku duduk di tepi kasur dan siap menyambar novel itu untuk menyelesaikan membacanya. Aku lupa sampi dimana batas terakhir aku membacanya sehingga aku sedikit mengulang bagian yang telah aku baca, aku teruskan hingga akhirnya aku selesai, sampai pada halaman terakhir dari buku itu. Endingnya begitu tajam menghijam ke jantung, lima pertanyaan itu, dan jawaban terakhir, benar-benar menggetarkan jiwa, selama ini, mungkinkah aku kurang bersyukur, beruntung sekali Ray, ia mempunyai kebiasaan memandangi rembulan itu yang membuatnya mendapatkan kesempatan itu. Berharap aku akan mendapatkan kesempatan yang sama, walau tak sama seperti Ray. Aku ingin mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri bersyukur atas apa yang aku miliki saat ini. Hingga akhirnya aku dapat menatap janji Tuhan, yang lebih hebat dibandingkan dari menatap rembulan ciptaanNya, yaitu janji menatap wajahNya. Wajah Tuhan. Tanpa tabir, tanpa pembatas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar